Substitusi Jagung: Mencari Bahan Pakan Sumber Energi yang Lebih Efisien

Substitusi Jagung: Mencari Bahan Pakan Sumber Energi yang Lebih Efisien – Jagung telah lama menjadi bahan utama dalam industri pakan ternak di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sebagai sumber energi yang tinggi karbohidrat dan mudah dicerna, jagung menyumbang sekitar 50–60% dari total formula pakan ayam ras pedaging (broiler) dan layer (petelur). Namun, ketergantungan yang besar terhadap satu jenis bahan baku ini menimbulkan tantangan serius, terutama dalam konteks fluktuasi harga dan ketersediaan bahan baku di pasar global.

Permintaan jagung yang tinggi tidak hanya datang dari sektor peternakan, tetapi juga dari industri pangan dan bioenergi. Ketika harga jagung naik karena musim kering, gangguan rantai pasok, atau kebijakan ekspor negara produsen besar seperti Amerika Serikat dan Brasil, dampaknya langsung terasa pada biaya produksi peternak lokal. Akibatnya, harga pakan melonjak, dan keuntungan peternak menurun tajam.

Selain itu, ketersediaan lahan pertanian yang terbatas membuat produksi jagung dalam negeri sulit menutupi kebutuhan nasional. Menurut data Kementerian Pertanian, defisit bahan baku pakan, terutama jagung, masih sering terjadi. Ketergantungan pada impor pun menjadi solusi sementara, namun menambah kerentanan terhadap gejolak harga internasional dan fluktuasi nilai tukar.

Oleh karena itu, kebutuhan akan bahan pakan substitusi jagung yang efisien, murah, dan mudah diperoleh semakin mendesak. Tujuannya bukan hanya untuk menekan biaya produksi, tetapi juga menciptakan sistem pakan yang berkelanjutan dan tidak bergantung pada satu sumber energi saja.

Namun, mencari bahan pengganti jagung bukan perkara mudah. Bahan tersebut harus memenuhi beberapa kriteria utama:

  1. Kandungan energi metabolik tinggi (setara atau mendekati jagung).
  2. Ketersediaan bahan stabil sepanjang tahun.
  3. Dapat diterima secara fisiologis oleh ternak (tidak menyebabkan gangguan pencernaan).
  4. Tidak mengandung zat antinutrisi yang berbahaya.
  5. Harga ekonomis dibandingkan jagung.

Banyak penelitian dan percobaan di lapangan telah dilakukan untuk mencari bahan alternatif tersebut. Beberapa bahan lokal bahkan menunjukkan potensi yang menjanjikan, terutama dari hasil samping pertanian dan industri yang belum dimanfaatkan secara optimal.


Alternatif Bahan Pakan Pengganti Jagung

Untuk menggantikan jagung secara parsial atau total dalam formula pakan, beberapa bahan lokal telah diuji dan dikembangkan. Berikut adalah beberapa kandidat utama yang sering disebut memiliki potensi tinggi sebagai substitusi jagung dalam pakan ternak:

1. Sorgum (Sorghum bicolor)

Sorgum merupakan tanaman serealia yang memiliki kandungan energi metabolik cukup tinggi, yakni sekitar 3.200–3.400 kkal/kg, sedikit di bawah jagung. Keunggulan sorgum terletak pada toleransinya terhadap kekeringan, menjadikannya tanaman ideal di lahan kering atau semi-arid.

Meski demikian, penggunaannya dalam pakan perlu diperhatikan karena beberapa varietas sorgum mengandung tanin, yaitu senyawa antinutrisi yang dapat menurunkan daya cerna protein. Namun, melalui pemilihan varietas rendah tanin dan pengolahan (misalnya perendaman atau fermentasi), efek negatif tersebut dapat diminimalkan.

2. Tepung ubi kayu (cassava meal)

Ubi kayu mengandung karbohidrat yang tinggi (sekitar 70–80%) dan memiliki energi metabolik mendekati jagung. Keunggulan utamanya adalah harga yang relatif murah dan ketersediaan bahan baku yang melimpah di Indonesia.

Namun, kelemahan utama tepung ubi kayu adalah kandungan proteinnya yang rendah (sekitar 2–3%) dan adanya asam sianida (HCN) yang bersifat toksik jika tidak diolah dengan benar. Proses pengeringan, pemasakan, atau fermentasi dapat mengurangi kadar HCN sehingga bahan ini aman digunakan dalam jumlah tertentu (biasanya hingga 20–30% dari total formula pakan).

3. Limbah industri pangan (seperti pollard dan bran)

Pollard (dedak gandum halus) dan rice bran (dedak padi) banyak tersedia di Indonesia sebagai hasil samping penggilingan gandum dan beras. Kandungan energinya relatif baik, dengan serat kasar yang masih bisa diterima untuk unggas maupun ruminansia.

Meski begitu, dedak memiliki kadar lemak tinggi yang rentan tengik dan kadar serat kasar yang lebih tinggi dibanding jagung. Penggunaannya perlu dibatasi dan disesuaikan dengan jenis ternak, terutama untuk ayam broiler yang lebih sensitif terhadap serat tinggi.

4. Bungkil kelapa dan bungkil sawit

Bungkil kelapa merupakan sisa dari proses ekstraksi minyak kelapa, sementara bungkil sawit berasal dari industri kelapa sawit. Keduanya kaya energi dan cukup ekonomis, namun memiliki kandungan serat kasar tinggi dan protein menengah.

Bungkil kelapa lebih cocok untuk unggas karena memiliki daya cerna lebih baik, sedangkan bungkil sawit biasanya digunakan dalam pakan sapi dan kambing. Dalam formula pakan ayam, bungkil sawit dapat digunakan hingga 10% dengan penambahan enzim pemecah serat.

5. Sagu dan tepung pisang

Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan bahan lokal seperti sagu (Metroxylon sagu) dan tepung pisang kering. Keduanya mengandung karbohidrat tinggi dan dapat menjadi sumber energi alternatif yang menarik, terutama di wilayah timur Indonesia.

Tantangannya terletak pada proses pascapanen dan standarisasi kualitas bahan. Namun dengan teknologi pengeringan dan fermentasi modern, bahan-bahan ini berpotensi menjadi substitusi jagung berkelanjutan di masa depan.

6. Ampas singkong fermentasi (onggok fermentasi)

Onggok, yang merupakan limbah dari industri tapioka, memiliki kandungan pati tinggi dan dapat ditingkatkan kualitasnya melalui proses fermentasi. Fermentasi menggunakan ragi atau jamur tertentu meningkatkan kandungan protein dan menurunkan kadar serat kasar.

Penelitian menunjukkan bahwa onggok fermentasi dapat menggantikan hingga 40% dari kebutuhan jagung dalam pakan ayam pedaging tanpa menurunkan performa produksi. Hal ini membuka peluang besar bagi peternak untuk memanfaatkan limbah industri lokal menjadi bahan pakan bernilai tinggi.

7. Lemak nabati dan minyak bekas olahan (recycled oil)

Dalam beberapa formula pakan modern, lemak nabati seperti minyak kedelai atau minyak sawit juga digunakan sebagai sumber energi tambahan. Lemak memiliki nilai energi metabolik tinggi (sekitar 8.000–9.000 kkal/kg) dan dapat membantu meningkatkan efisiensi pakan.

Namun, penggunaan minyak bekas (recycled oil) harus hati-hati karena potensi kontaminan dan oksidasi. Hanya minyak yang telah melalui proses pemurnian aman yang boleh digunakan sebagai bahan pakan.


Kesimpulan

Ketergantungan industri pakan terhadap jagung memang sulit dihindari, tetapi bukan berarti tidak dapat dikurangi. Melalui inovasi, riset, dan pemanfaatan bahan lokal, substitusi jagung dapat menjadi strategi penting untuk menjaga stabilitas produksi pakan sekaligus mengurangi biaya operasional peternak.

Bahan alternatif seperti sorgum, ubi kayu, dedak padi, onggok fermentasi, hingga sagu menawarkan potensi besar, terutama jika diproses dengan teknologi modern seperti fermentasi, pengeringan, dan formulasi pakan presisi. Dengan pendekatan ini, peternak tidak hanya memperoleh bahan yang efisien, tetapi juga turut mendukung ketahanan pangan nasional dan ekonomi sirkular.

Selain efisiensi biaya, upaya diversifikasi bahan pakan juga membawa manfaat ekologis. Pemanfaatan limbah pertanian dan industri pangan sebagai bahan substitusi berarti mengurangi limbah organik yang berpotensi mencemari lingkungan.

Ke depan, kolaborasi antara peneliti, pemerintah, dan pelaku industri pakan sangat dibutuhkan untuk memperkuat rantai pasok bahan alternatif ini. Dengan perencanaan dan inovasi yang berkelanjutan, Indonesia dapat mewujudkan sistem pakan ternak yang lebih mandiri, ramah lingkungan, dan ekonomis — tanpa harus selalu bergantung pada jagung sebagai satu-satunya sumber energi.

Scroll to Top